Aris (21) menjadi pelaku kejahatan seksual terhadap anak kecil pertama yang akan di suntik kebiri kimia. Ia divonis 17 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta rupiah dengan hukuman tambahan kebiri. Dasar vonisnya adalah hasil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Setelah vonis Aris dari Kejaksaan Negeri Mojokerto keluar Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi eksekutor hukuman. IDI berpendapat eksekusi hukuman kebiri kimia telah melanggar kode etik dokter dan langgar sumpah dokter.
Pudjo Hartono, Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran IDI meragukan kebijakan ini. Keraguan muncul setelah IDI melakukan kajian dari berbagai aspek, hasilnya belum tentu hukuman kebiri dapat menghentikan kekerasan seksual terhadap anak.
Perpu tentang perlindungan anak ini memang direncanakan untuk membuat pelaku kejahatan seksual jera. Aturan muncul pada tahun 2016 setelah kasus besar yang menimpa Yuyun, pelajar perempuan asal Bengkulu yang meninggal diperkosa oleh 14 orang pria.
Lilik HS, aktivis Indonesia untuk Kemanusiaan beranggapan peraturan pemerintah menghukum pedofil denga cara kebiri kimia adalah cara instan yang kurang kajian. Ia menilai pemerintah terlalu panik dalam mengatasi kekerasan seksual terhadap anak yang mendorong munculnya penghukuman kuno ini.
Padahal menurutnya banyak aspek yang perlu dikaji selain menjerakan pelaku kejahatan seksual. Ada faktor budaya yang sangat lekat jadi permasalahan kekerasan seksual. Pelaku masih melihat perempuan dan anak-anak sebagai obyek seks yang bisa diperlakukan semena-mena.
Eva Ahyani, pengamat hukum pidana Universitas Indonesia mengatakan hukuman kebiri adalah cara kuno. Dalam era modern seperti ini hukum sudah tidak lagi fokus pada penjeraan tapi mengarah ke rehabilitasi untuk pemulihan pelaku.
Setelah vonis Aris dari Kejaksaan Negeri Mojokerto keluar Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi eksekutor hukuman. IDI berpendapat eksekusi hukuman kebiri kimia telah melanggar kode etik dokter dan langgar sumpah dokter.
Pudjo Hartono, Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran IDI meragukan kebijakan ini. Keraguan muncul setelah IDI melakukan kajian dari berbagai aspek, hasilnya belum tentu hukuman kebiri dapat menghentikan kekerasan seksual terhadap anak.
Perpu tentang perlindungan anak ini memang direncanakan untuk membuat pelaku kejahatan seksual jera. Aturan muncul pada tahun 2016 setelah kasus besar yang menimpa Yuyun, pelajar perempuan asal Bengkulu yang meninggal diperkosa oleh 14 orang pria.
Lilik HS, aktivis Indonesia untuk Kemanusiaan beranggapan peraturan pemerintah menghukum pedofil denga cara kebiri kimia adalah cara instan yang kurang kajian. Ia menilai pemerintah terlalu panik dalam mengatasi kekerasan seksual terhadap anak yang mendorong munculnya penghukuman kuno ini.
Padahal menurutnya banyak aspek yang perlu dikaji selain menjerakan pelaku kejahatan seksual. Ada faktor budaya yang sangat lekat jadi permasalahan kekerasan seksual. Pelaku masih melihat perempuan dan anak-anak sebagai obyek seks yang bisa diperlakukan semena-mena.
Eva Ahyani, pengamat hukum pidana Universitas Indonesia mengatakan hukuman kebiri adalah cara kuno. Dalam era modern seperti ini hukum sudah tidak lagi fokus pada penjeraan tapi mengarah ke rehabilitasi untuk pemulihan pelaku.
Category
🗞
Berita