Lewati ke pemutarLewatkan ke konten utamaLewati ke footer
  • kemarin
JAKARTA, KOMPAS.TV - Terungkapnya satu demi satu kasus kriminal yang melibatkan dokter PPDS seperti fenomena gunung es.

Di Jakarta, seorang dokter PPDS menjadi tersangka pencabulan. Di Bandung, seorang dokter PPDS menjadi tersangka pemerkosa. Tahun lalu, seorang dokter PPDS justru menjadi korban perundungan.

Menanggapi rentetan kasus itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mewajibkan tes psikologi saat rekrutmen dokter PPDS.

Kita bahas soal ini bersama sejumlah narasumber. Ada Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, IAKMI, Hermawan Saputra, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, PB IDI, Slamet Budiarto dan Ketua Himpunan Psikologi Indonesia, HIMPSI, Andik Matulessy.

Baca Juga [FULL] Solusi dari Menkes, Mendikti Saintek dan Dirut RSHS soal Pelecehan Seksual oleh Dokter PPDS di https://www.kompas.tv/nasional/588234/full-solusi-dari-menkes-mendikti-saintek-dan-dirut-rshs-soal-pelecehan-seksual-oleh-dokter-ppds

#ppds #dokterppds #kasusasusila

Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/nasional/588503/menkes-wajibkan-tes-psikologi-untuk-calon-ppds-ini-bisa-jadi-solusi-untuk-rentetan-kasus-asusila
Transkrip
00:00Polisi menangkap opnum dokter gigi PPDS UI yang merekam mahasiswi kedokteran saat mandi di rumah Indekos di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
00:13Atas perbuatannya, dia terjerat undang-undang pornografi dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.
00:20Polisi juga telah memeriksa 4 orang saksi termasuk korban.
00:23Terhadap motif pelaku, dengan iseng karena mendengar korban sedang mandi.
00:37Hasil dari proses pemeriksaan terhadap pelaku, mengakui perbuatannya.
00:42Telah melakukan merekam korban yang sedang mandi.
00:47Dan pengakuan dari pelaku baru kali ini melakukan perbuatannya.
00:56Terhadap perbuatan pelaku, penyiri menerapkan pasal 4, juntuh pasal 29, dan pasal 9, juntuh pasal 35,
01:07Undang-Undang RI nomor 44 tentang pornografi dengan ancaman hukuman pidana paling lama 12 tahun penjara.
01:17Sementara itu terkait pemerkosaan terhadap tiga perempuan yang dilakukan dokter PPDS Unpad di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
01:26Pihak Rumah Sakit menyebut tindakan tersebut adalah kriminal murni.
01:30Korban merupakan anak pasien dan pasien Rumah Sakit Hasan Sadikin.
01:35Pihak Rumah Sakit bilang sudah menerapkan prosedur yang ketat dalam pengambilan obat.
01:39Dokter PPDS pelaku kekerasan seksual memanfaatkan sisa-sisa obat yang digunakan untuk pasien.
01:45Sisa obat itu kemudian dikumpulkan untuk membius korban.
01:49Pelaku juga memanfaatkan ruangan di rumah sakit yang tidak terpakai.
01:54Yang dilakukan oleh Oknomin adalah dia mengambil sisa-sisa dari yang sudah dimasukkan ke pasien.
02:01Misalnya ada dari dua ampul ada sisa setengah CC atau CC diambil.
02:06Jadi dia punya sendiri akhirnya.
02:07Nah ini yang kami tidak bisa ini.
02:09Jadi kalau kami mengeluarkan dua, kembalinya harus dua.
02:12Nah ini jelas sekali bahwa SOP yang sudah ada di kami itu mengenai narkoba ini sangat-sangat sekali ketat.
02:20Dan itu selama ini kami lakukan sesuai dengan apa yang sudah disetujui.
02:26Buntut dari sederet kasus asusila yang melibatkan dokter, Menteri Kesehatan Budi Gunadisadikin
02:34mewajibkan aturan adanya tes psikologi saat rekrutmen dokter PPDS.
02:39Menkes juga meminta agar ada transparansi dalam proses rekrutmen,
02:43sehingga tidak salah pilih dokter yang mengikuti sekolah dokter spesialis.
02:47Saat rekrutmen dari calon peserta pendidikan dokter spesialis,
02:53itu diwajibkan untuk melakukan, mengikuti tes psikologis.
02:59Sehingga dengan demikian, kita bisa mengetahui kondisi kejiwaannya dari Bersakutan
03:07untuk bisa melakukan pendidikan ini dan nantinya akan bisa melayani masyarakat dengan sebepek.
03:18Saya juga minta yang kedua, agar transparansi dari proses rekrutmen ini dilakukan dengan baik,
03:29sehingga tidak ada lagi yang preferensi-preferensi khusus,
03:33sehingga mengibatkan kita akan salah pilih dari peserta pendidikan dokter spesialis ini.
03:40Terungkapnya satu demi satu kasus kriminal yang melibatkan dokter PPDS seperti fenomena gunung es.
03:46Sebelumnya di Semarang, Jawa Tengah, seorang dokter PPDS Universitas Diponegoro,
03:51Aulia Risma, meninggal dan dalam penyelidikan ditemukan adanya perisakan atau bullying.
03:58Aulia, yang merupakan calon dokter anestesi, ditemukan meninggal di kamar indikosnya.
04:04Polisi menetapkan tiga tersangka dalam kasus perisakan ini,
04:08yaitu Kepala Program Studi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip,
04:14Kepala Staff Medis Kependidikan Prodi Anestesiologi, dan seorang senior korban.
04:20Tim Liputan, Kompas TV
04:21Saudara terungkapnya satu demi satu kasus kriminal yang melibatkan dokter PPDS seperti fenomena gunung es.
04:35Di Jakarta, seorang dokter PPDS menjadi tersangka pencabulan.
04:39Di Bandung, seorang dokter PPDS menjadi tersangka pemerkosa.
04:43Bahkan tahun lalu, seorang dokter PPDS justru menjadi korban perundungan.
04:47Menanggapi retetan kasus tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadisadikin mewajibkan tes psikologi saat rekrutmen dokter PPDS.
04:56Dan kita akan bahas soal ini bersama dengan sejumlah narasumber.
04:59Ada di studio Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia atau IAKMI, Pak Hermawan Saputra.
05:04Selamat pagi Pak.
05:04Selamat pagi Mas Breh, sehat selalu.
05:06Sehat selalu.
05:07Kemudian dari sambungan Zoom, saudara ada Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia atau PBID, Selamat Budiarto.
05:14Dan Ketua Himpunan Psikologi Indonesia atau HIMSI, Andik Matulesi.
05:18Selamat pagi Pak, selamat Pak Andik.
05:21Selamat pagi.
05:22Selamat pagi.
05:24Baik.
05:24Saya ke Pak Hermawan terlebih dahulu.
05:26Pak Hermawan, ini terkait dengan kasus rentetan asusila yang terjadi bertubi-tubi.
05:32Paling tidak selama sepekan terakhir, dua pekan terakhir.
05:36Dan kemudian melibatkan dokter, khususnya justru dokter PPDS yang sedang melakukan pendidikan di rumah sakit.
05:43Tangkepan ada, Pak?
05:44Ya tentu, Mas Breh.
05:45Kalau peristiwa kriminalitas dan adanya potensi bullying dan seterusnya dalam program pendidikan itu sebenarnya dimanapun ya.
05:52Jadi kapanpun, dimanapun proses pendidikan itu berlangsung, bila tanpa pengawasan, bila tanpa supervisi,
05:59dan juga dalam proses orang, oknum yang tidak memiliki integritas yang baik,
06:04pasti kemungkinan akan ada terjadi hal tersebut.
06:07Tapi kita inginnya kejadian seperti ini tidak berulang ya, Mas Breh.
06:10Maka itu perlu ada perbaikan yang lebih menyeluruh, tetapi juga lebih precise.
06:15Jadi proses pendidikan itu sendiri sebenarnya diatur.
06:18khusus untuk pendidikan dokter spesialis ini kan memang cukup ketat sebenarnya dan berlapis.
06:23Artinya, undang-undang sendiri yang mengaturnya adalah undang-undang pendidikan kedokteran,
06:28itu undang-undang nomor 20 tahun 2013.
06:31Belum lagi ke depan, itu memang akan dimungkinkan program pendidikan dokter spesialis itu melalui dua jalur.
06:37Ada yang disebut dengan university-based, yang seperti yang berlangsung saat ini,
06:41tapi dimungkinkan juga adanya hospital-based medical education.
06:45Nah, oleh karena adanya beberapa opsi ini ke depan, perlu dari sekarang itu dengan yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan,
06:52memang harus ada evaluasi dan juga screening yang lebih ketat terhadap yang paling penting itu tidak hanya akademiknya,
06:59tetapi juga integritas.
07:01Nah, sebenarnya secara normatif ya, setiap mahasiswa baru tidak hanya di pendidikan spesialis saya rasa,
07:07di pendidikan sarjana, pasca sarjana, itu dilakukan adanya di samping tes potensi akademik,
07:12juga ada psikotest sebenarnya.
07:15Nah, itu kan juga untuk menemukan semacam potensi.
07:18Apakah para caron mahasiswa ini bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik atau tidak?
07:23Punya tendensi untuk belajar dan menjaga integritas termasuk tanggung jawab atau tidak?
07:27Nah, tentu dalam prosesnya ini bisa juga berkaitan dengan tidak hanya menyangkut pribadi ya,
07:33atau kapasitas akademik dan profesionalitas pribadi,
07:36tetapi juga mungkin juga lingkungan dan tata kelola sistem pendidikan maupun layanan kesehatan ini juga perlu dibenahi, Mas Brey.
07:42Tapi kita melihat pernyataan yang disampaikan oleh Pak Menkes kemarin terkait dengan evaluasi,
07:48kemudian rencana perbaikan sistem pendidikan PPDS.
07:51Pak Hermawan melihatnya, apakah yang disampaikan oleh Pak Menkes kemarin sudah cukup?
07:55Kira-kira dengan misalnya tadi ada seleksi yang lebih kertat di awal dengan tes psikologi,
08:01kemudian tes psikologi dengan 6 bulan sekali, apakah sudah cukup sekiranya?
08:04Ya, sebenarnya sih yang lebih penting itu bukan pada tesnya,
08:08tapi proses pengawasan dan juga penerapan terhadap prosedur yang ada dalam bidang pendidikannya maupun dalam praktek layanannya gitu ya.
08:16Nah, kalau kita bicara misalnya MPI tes ya, atau Minnesota Multipassive Personality Inventory,
08:24ini memang penting karena menyangkut screening di tiga aspek.
08:27Pertama, pola fikir dari seseorang, yang kedua pola perilakunya,
08:32yang ketiga juga berkaitan dengan resiko patos psikologisnya.
08:36Nah, ini yang paling penting untuk dikelola agar jangan sampai orang-orang yang masuk program pendidikan spesialis ini,
08:43mereka yang punya kecenderungan tidak mampu mengontrol patos psikologinya.
08:48Nah, di aspek ini kita setuju ya, tetapi bahwa secara berkala akan dilakukan psikotes atau juga mengetes kejiwaan,
08:57sebenarnya sih oke-oke saja, tapi poin pentingnya sebenarnya adalah proses pengawasan dan ketaatan asas
09:04terhadap mekanisme pendidikan maupun mekanisme layanan kesehatan di fast case seperti halnya di rumah sakit.
09:10Rumah sakit itu sendiri kan, Mas Brey, kan tidak semua rumah sakit.
09:13Biasanya rumah sakit yang menjadi tempat untuk pendidikan dokter spesialis ini sebenarnya rata-rata RSUP,
09:19rumah sakit umum pusat yang justru dikelola oleh pemerintah atau kementerian kesehatan sendiri.
09:24Jadi kita ambil contoh kerjasama antara UI dengan RSM, Sarjito dengan UGM misalnya,
09:30demikian juga Hasan Sadikin Tempohari dengan Pak Jajaran.
09:34Nah, ini kan sebenarnya semacam afiliasi ya, satu di bawah koridor kementerian kesehatan rumah sakitnya,
09:41satu di bawah koridor kementerian pendidikan dikti untuk pendidikannya.
09:44Nah, disinilah perlu dipertemukan sistem agar matching tetapi supervisi berjenjang terkait dengan proses pendidikan dan layanan kesehatan,
09:53ini betul-betul harus dikuatkan kembali, Mas Brey.
09:56Oke, baik-baik. Saya coba ke Pak Selamat.
09:59Pak Selamat, ini kan yang disampaikan oleh Pak Menkes kemarin memang sangat digarisbawahi atau sangat bold gitu ya,
10:06terkait dengan tes kejiwaan bagi para calon dokter PPDS.
10:11Anda melihatnya memang apakah kuncinya di awal ketika kita akan menyeleksi dokter,
10:16atau tadi seperti kata Pak Hermawan, sebenarnya kuncinya di pengawasannya, di rumah sakit seperti itu?
10:21Maaf?
10:27Pak Sbrey ya? Saya ya?
10:29Iya, Pak Selamat.
10:30Iya, jadi gini.
10:32Selamat dulu ya? Silahkan.
10:34Saya dulu ya?
10:36Pak Selamat, silahkan Pak.
10:38Oke, terima kasih.
10:39Oke, perlu kami sampaikan bahwa gangguan jiwa itu atau kelainan jiwa itu timbul karena efek ada stress.
10:50Jadi psikologisnya itu nanti akan berubah.
10:53Dalam hal seleksi ini kan kewenangan Dikti ya, Dikti akan menseleksi.
10:58Hampir semua pimpinan daerah juga dilakukan tes kejiwaan, masuk kuliah juga sama, itu sudah dilakukan.
11:08Yang disampaikan oleh Ketua IAKMI itu sangat benar sekali bahwa yang diperlukan adalah pengawasan.
11:17Pengawasan pada proses pendidikan.
11:21Karena dalam proses pendidikan itu timbulah tekanan-tekanan psikologis.
11:26Itu yang akan menimbulkan kelainan jiwa atau gangguan jiwa.
11:30Yang kedua, tes-tes MPE ini biasanya bisa mendeteksi untuk gangguan jiwa yang berat dan sudah berlangsung lama.
11:39Terus yang ketiga, mudah dipelajari.
11:43Jadi tes MPE ini gampang dipelajari.
11:46Jadi semua orang bisa mempelajari jawabannya.
11:49Setelah seleksi, saya kira mereka adalah orang yang sudah terpilih.
11:54Sudah istilahnya sudah nomor satu lah.
11:57Sudah memenuhi persyaratan baik kejiwaan maupun sejarah akademis.
12:03Begitu masuk rumah sakit, 100 persen itu adalah tanggung jawab rumah sakit.
12:08Dalam hal ini adalah rumah sakit vertikal atau Kementerian Kesehatan.
12:13Nah, di dalam rumah sakit itu, sesuai dengan Undang-Undang Rumah Sakit Pasal 193,
12:18semua SDM yang ada di rumah sakit adalah tanggung jawab rumah sakit, yaitu Direktur Utama dan pemiliknya.
12:25Pemiliknya tadi sudah disampaikan oleh Pak Ketua Yakmi adalah Kementerian Kesehatan.
12:31Itulah yang bertanggung jawab terhadap proses pendidikan yang ada di rumah sakit.
12:37Walaupun tool-toolnya, gajennya adalah berasal dari Fakultas Kedokteran.
12:44Mengenai kewenangan residen itu juga diatur.
12:48Semester 1 itu 1 sampai 3 kompetensi, misalnya semester 2, 3 sampai 5.
12:55Sampai berakhir, karena ini kan pendidikan spesialis itu kan magang.
13:01Jadi kalau dia sudah mencapai kompetensi tertentu, mereka bisa melakukan secara mandiri karena dia punya surat izin praktek.
13:10Yang kedua, untuk mengurangi tekanan-tekanan psikologis adalah jam kerja.
13:14Kami sudah mengusulkan bahwa maksimal 50 jam per minggu.
13:19Bahkan Eropa 40 jam per minggu.
13:21Tapi teman-teman Kementerian Kesehatan menetapkan 80 jam, 2 kali lipatnya.
13:26Ini kan sangat membahayakan pasien, membahayakan residen, dan membahayakan mutu pelayanan.
13:32Kalau jam kerja sesuai, maksimal 50 misalnya, maka tekanan psikologisnya akan sangat berkurang.
13:38Kemudian mengenai gaji residen, bertahun-tahun residen melakukan tindakan medis, uangnya kemana?
13:46Uangnya ke rumah sakit, rumah sakit yang menerima.
13:50Nah rumah sakit gimana? Rumah sakitnya milik Kementerian Kesehatan.
13:53Jadi kalau ada ungkapan kenapa gaji nggak di residen, ya pemilik rumah sakit lah yang berhak memberikan gaji kepada residen.
14:02Termasuk SOP, SOP-nya.
14:04Jadi kami agak prihatin terhadap pernyataan Konversi Kementerian Kesehatan kemarin.
14:13Mungkin mereka nggak paham bahwa rumah sakit itu miliknya beliau yang bisa melakukan apapun.
14:20Karena di dalam rumah sakit itu ada yang namanya hospital by law.
14:24Peraturan rumah sakit yang harus diata-ati oleh seluruh SDM di rumah sakit.
14:29Mau residen, dokter umum, koas, dan lain-lain.
14:32Ada wacana residen untuk SIP-nya dokter umum, nah ini lebih parah lagi.
14:38Kalau SIP-nya dokter umum, maka residen kalau sudah mencapai kompetensi bisa operasi, dia tidak bisa melakukan operasi gitu loh.
14:46Kalau menggunakan SIP dokter umum.
14:50Jadi sebetulnya kan masalahnya ada residen tidak digaji.
14:55Tinggal digaji aja, karena residen setiap hari operasi sekian, dan dia dibayar oleh BBCS atau oleh pasien umum.
15:04Maka Direktur Rumah Sakit atas izin Menteri Kesehatan memberikan gaji kepada residen tersebut gitu loh.
15:11Nah, mengenai kewanaan-kewanaan bisa diatur semua.
15:14Jadi itu sekali lagi.
15:15Ya, jadi sebenarnya tekanan yang diterima oleh dokter residen ini memang sangat banyak ya Pak ya, terkait dengan jam kerja.
15:23Kemudian ada juga terkait dengan insentif yang mungkin bisa berdampak pada kejiwaan mereka, seperti itu.
15:28Ya, betul.
15:294-5 tahun dia tidak digaji, jam kerjanya tidak karu-karuan.
15:33Dan dalam waktu dekat, Ikatan Dokter Indonesia akan berkonsultasi dengan Komnas HAM terkait hal ini.
15:39Karena ini sangat membahayakan sekali.
15:42Oke, baik.
15:43Sebelum saya ke Pak Andik Saudara, kami disclaimer terlebih dahulu.
15:47Kami sudah mengundang dari pihak Kementerian Kesehatan untuk bergabung dalam dialog hari ini.
15:51Namun kami belum mendapatkan respons dari pihak Kementerian Kesehatan dan kami akan mewakilkan dalam pernyataan Menkes kemarin.
15:59Saya ke Pak Andik.
16:01Pak Andik, terkait dengan tadi pernyataan Pak Dokter Selamat, terkait dengan tekanan yang mungkin dihadapi oleh dokter PPDS,
16:07terkait dengan jam kerja yang over, kemudian ada juga tekanan finansial,
16:12di mana mereka tidak mendapatkan uang ataupun insentif ketika mereka melaksanakan tugas mereka.
16:19Apakah itu juga menjadi salah satu faktor yang bisa membuat mereka tertekan ataupun terganggu kejiwaannya?
16:26Ya, terima kasih Mas Bray.
16:28Jadi memang menjadi dokter spesialis atau pendidikan dokter spesialis,
16:34seperti juga pendidikan spesialis yang lain.
16:37Kan tuntutan akademik dan tuntutan emosionalnya kan sangat tinggi.
16:43Ya, jadi mereka punya jadwal yang sangat padat, harus kompetitif,
16:49ya setiap kali harus menghadapi berbagai ujian,
16:54kemudian juga ada ekspetasi yang tinggi,
16:57kemudian juga ada selain itu juga pasti mereka punya persoalan-persoalan pribadi yang harus diselesaikan juga.
17:04Jadi memang kalau saya lebih memberikan prevensi bahwa memang tes psikologi sejak awal itu menjadi bagian yang penting.
17:16Tidak hanya tes yang berkait dengan gangguan kejiwaan, potensi gangguan kejiwaan,
17:21tetapi juga harus melebar, meluas pada potensi-potensi yang lain.
17:26Misalnya kemampuan beradaptasi pada situasi yang baru,
17:30kemampuan menghadapi atas daya tahan terhadap stres,
17:34kemampuan melakukan analisis dan sintesis yang bagus,
17:38kemampuan komunikasi, kemampuan untuk menjalin interpersonal relationship.
17:43Karena memang duntutan yang tinggi itu tentunya harus berkonsepensi pada kemampuan profil psikologis
17:53dan kesehatan psikologis yang lebih kuat.
17:56Oleh karena itu tidak hanya pada saat rekrutmen saja dilakukan tes psikologi,
18:01saya setuju dengan Pak Menkos,
18:03perlu ada setiap 6 bulan sekali harus ada evaluasi,
18:07harus ada screening kembali,
18:09karena bisa saja, tadi dikatakan oleh teman-teman dari dokter tadi,
18:14bahwa memang persoalannya tidak semata-mata hanya masalah perkulian saja gitu.
18:21Tapi ada persoalan-persoalan lain,
18:23kayak misalnya tadi beban kerja,
18:25kemudian bisa saja senior, senior, junior yang sampai sekarang tidak bisa bilang.
18:31Dan banyak hal yang tidak bisa terdeteksi,
18:35sehingga kemudian perlu dilakukan kajian,
18:38perlu ada screening setiap 6 bulan sekali.
18:40Oke, kemudian seberapa besar akurasi dari tes psikologi di awal mereka masuk
18:45dan juga di setiap 6 bulan misalnya mereka dilakukan,
18:48seberapa bisa menemukan adanya potensi-potensi,
18:51misalnya ada kelainan dalam kejiwaan mereka, Pak Andik?
18:55Kalau kelainan kejiwaan sudah dideteksi dari MNBI ya,
18:59yang tadi sudah dikatakan oleh teman-teman yang lain.
19:02Tapi ada hal lain yang perlu dikaji,
19:05misalnya kemampuan analisisnya, kemampuan sintesisnya,
19:10kemampuan logikanya, kemampuan beradaptasi,
19:14kemampuan daya tanda beradaptasi.
19:16Itu ada banyak asesmen psikologi yang digunakan untuk melakukan itu.
19:21Jadi tidak hanya satu atau dua pengukuran atau asesmen,
19:25tetapi harus menggunakan berbagai pengukuran,
19:28sehingga didapatkan profil psikologis yang lebih komprehensif.
19:33Ini kan, Master?
19:34Oke, baik.
19:35Saya beralih ke Pak Hermawan.
19:37Pak Hermawan tadi disampaikan oleh dokter selamat terkait dengan pengawasan.
19:41Seperti itu ya.
19:42Kemudian tekanan dari setiap hari mereka bekerja,
19:46yang kemudian tidak dibayar karena insentifnya tidak ada.
19:49Itu seperti apa di prakteknya ketika di rumah sakit, Pak Hermawan,
19:53ketika mereka harus bertugas seperti itu?
19:55Betul, ini beragam ya, karena program pendidikan dokter spesialis itu
19:59tergantung juga dari spesialisnya.
20:01Jadi volume dan juga ritme kerja mereka itu sangat tergantung dari beban kurikulum
20:06dan juga akademik sekaligus praktiknya di lapangan.
20:10Jadi rentang pendidikan dokter spesialis itu, Mas Bre, antara 3 sampai 5 tahun.
20:14Jadi tadi beragam ya, tergantung spesialistiknya.
20:17Maka itu saya sih setuju dengan pendapat dari Ketua ini ya, Mas Lamed,
20:21bahwa kita ini jangan sampai juga dalam target praktek dan pendidikan itu berlebihan bebannya.
20:28Karena sesuatu yang berlebihan beban ketika ditekan karena bebannya,
20:32maka dia akan memberikan reaksi yang cukup kuat juga untuk memberikan reaksi kontra terhadap beban itu.
20:38Nah ini yang harus kita manage dengan baik.
20:40Yang paling penting poinnya itu, Mas Bre, kita itu menginginkan lulusan pendidikan spesialis ini,
20:47dia memiliki kompetensi ya, tetapi juga pengetahuan dengan lingkungannya bagus.
20:54Yang paling penting lagi sikap dan integritinya ini.
20:57Jadi ada kompetensi, ada pengetahuan, ada attitude, dan ada integriti.
21:02Seyogianya inilah yang menjadi profil lulusan kita.
21:05Tidak hanya untuk pendidikan spesialis saya rasa, hampir semua jenjang-jenjang profesional mestinya ini yang kita jaga.
21:11Nah kalau kita ingin mewujudkan sikap dan integriti yang baik,
21:15juga manajemen psikologi dan respon terhadap lingkungan dalam keseharian proses pembelajaran,
21:21maupun layanan kesehatan, juga mereka harus bijaksana dan jauh dari tekanan yang berlebihan gitu.
21:26Nah ini yang memang harus kita rancang dan memang perlu duduk bareng.
21:30Maka dulu pernah juga kami ya, walaupun di bidang kesehatan masyarakat,
21:35kita memberikan masukan terhadap undang-undang pendidikan kedokteran,
21:38agar pemahaman kompetensi itu juga sejalan dengan kemampuan mengelola situasi.
21:45Nah ini yang mahal.
21:46Nah di kita, tentu saja sudah disampaikan oleh Ketua PBID tadi,
21:50ini perlu adanya kebijaksanaan dari dua pihak utama nih.
21:54Dalam hal ini, Mendikbud Ristek Dikti ya, Mendikti Saintec.
22:01Dan juga Menkes itu sendiri.
22:03Karena tadi, jangan sampai juga kita lupa bahwa hampir semua pendidikan dokter spesialis ini,
22:09tempat prakteknya ada di rumah sakit-rumah sakit umum pusat,
22:13yang sifatnya vertikal milik pemerintah yaitu ke Menkes itu sendiri.
22:16Nah ini harus digodok secara bersama.
22:19Yang kedua, sebenarnya tadi yang saya sampaikan,
22:22ada ruang ke depan di dalam Undang-Undang 17 2023, Undang-Undang Kesehatan,
22:27itu jalur pendidikan yang berbasis rumah sakit.
22:29Nah, di saat ini berbasis universitas saja, potensi pelanggaran etika,
22:35kemudian under kompetensi, kemudian juga under profesionalism, itu terjadi.
22:41Apalagi nanti kalau kita menerapkan yang hospital-based atau academic-based.
22:45Karena apa? Pendidikan secara etik profesi, kemudian juga pendidikan yang menyangkut keterladanan,
22:52bagaimana juga mengelola hubungan manusia ke manusia,
22:56bagaimana juga mengelola mental dan juga mengendalikan resiko kerja.
23:01Nah itu sebenarnya pendidikan dikti, itu sudah mapan dari basis universitas.
23:06Nah tetapi kalau kita nanti kembangkan yang berbasis hospital,
23:09dan itu pasti akan langsung berkaitan dengan kerja dan beban kerja,
23:14nah ini harus betul-betul kita persiapkan dengan matang dari sekarang,
23:17agar kasus-kasus seperti ini tidak pernah terjadi di masa datang.
23:20Oke, baik-baik. Saya kembali ke dokter Selamat.
23:23Pak Selamat, terkait dengan tadi beban kerja yang memang sangat berat untuk PPDS,
23:29kemudian dari Pak Menkes bilang akan dibatasi 80 jam per minggu, seperti itu ya.
23:36Apakah itu cukup untuk bisa kemudian mengurangi beban kerja dari dokter PPDS sekarang?
23:41Berarti kalau misalnya dibatasi di 80 jam, berarti sebelum-sebelum ini mereka juga kerja bisa lebih dari itu, Pak Selamat.
23:48Dan juga terkait dengan mungkin insentif yang mereka terima, mereka tidak terima insentif sama sekali, seperti apa, Pak?
23:54Ya, 80 jam itu kan tadi saya sampaikan bahwa negara-negara Eropa yang safety-nya paling tinggi itu menetapkan 40 jam per minggu.
24:05Kami sudah sampaikan ke Kementerian Kesehatan agar tidak melebih 50 jam per minggu.
24:11Karena kalau di atas 50 jam itu akan meningkatkan tekanan-tekanan psikologis kepada residen,
24:21sehingga residen tersebut bisa melakukan hal-hal bullying, kriminal, dan lain-lainnya.
24:27Nah, sehingga kita harus menetapkan bahwa jam kerja itu pasti harus ditetapkan batas maktimalnya.
24:37Undang-undang tenaga kerja kita menetapkan 40 jam, okelah untuk kedokteran 50 jam.
24:43Jadi ini harus dilakukan.
24:44Kalau 80 jam, dua kali lipatnya ini sangat membahayakan pasien, membahayakan dokternya sendiri,
24:53dan mutu pelayanan juga menjadi tidak baik.
24:55Yang kedua, ini kan kejadian itu di rumah sakit vertikal semua, yaitu rumah sakit milik Kementerian Kesehatan.
25:04Jadi menurut saya harus ada perbaikan tata kelola yang baik di rumah sakit vertikal.
25:08Ini rumah sakit Karyadi, nanti sekarang UNPAD, nanti Sarjito, UI, RSM, nanti mana lagi?
25:16Ini vertikal semua.
25:17Dan ini semua adalah kewenangan mutlak dari Kementerian Kesehatan.
25:25Di Undang-Undang nomor 17 sudah diatur bahwa semua kerugian, semua yang diakibatkan oleh SDM rumah sakit adalah tanggung jawab dari rumah sakit,
25:36yaitu direktur dan pemilik.
25:38Bisa saja per hari kemarin Pak Menkes menetapkan residen mulai hari ini saya tanda tangani diberikan insentif atau gaji sekian-sekian.
25:49Itu bisa dilakukan langsung.
25:51Tapi itu kenapa tidak dilakukan.
25:54Residen mulai hari ini maksimal 50 jam per minggu.
25:58Itu bisa dilakukan.
25:59Karena itu adalah aturan yang dipasukkan dalam SOP maupun hospital belo rumah sakit.
26:07Kalau ini, saya sudah mengingatkan sejak pada kasus di Karyadi.
26:14Nah, kalau ini tidak diperbaiki, ini bom waktu nih, ke depan akan timbul lagi.
26:21Jadi, kami tidak setuju kalau menyetop proses pendidikan seperti yang dilakukan di Karyadi, itu di-stop.
26:29Tidak boleh digunakan untuk pendidikan.
26:31Itu jaruh madorotnya lebih banyak.
26:34Kalau itu hanya person to person, itu sistemnya yang kurang baik, ya diperbaiki itu.
26:40Mengenai tadi Pak Hermawan sampaikan, saya setuju sekali harus ada koordinasi dari mendikni sama Menkes.
26:47Mendikni tanggung jawabnya di luar rumah sakit.
26:50Begitu masuk rumah sakit, 100 persen tanggung jawabnya adalah Menteri Kesehatan.
26:55Dan harus dilakukan MOU, Pak.
26:57MOU antara FK sama rumah sakit.
27:02Kemudian MOU antara residennya sendiri dengan rumah sakit.
27:07Jadi, kita tidak usah merubah surat izin praktek residen menjadi surat izin dokter umum.
27:14Karena itu akan mengacaukan sistem, Pak.
27:16Nanti residen tidak boleh operasi, Pak.
27:18Gitu loh.
27:19Seperti itu, Pak.
27:20Pak, selamat.
27:21Satu pertanyaan sebelum kita jeda, Pak.
27:24Selamat.
27:24Terkait dengan pernyataan Pak Budi Gunadisadikin.
27:28Terkait mereka akan diberikan izin praktek seperti itu.
27:32Untuk, ini kan sebenarnya semata-mata sepertinya alasan sebenarnya finansial gitu ya.
27:36Agar mereka bisa mendapatkan penghasilan di luar pendidikan.
27:40Seperti itu, apakah ini tidak justru semakin membuat mereka bertambah jam kerjanya semakin tertekan juga seperti itu?
27:48Ya.
27:49Kan ini masalahnya adalah residen tidak mendapat insentif atau gaji.
27:53Kalau di rumah sakit tersebut residen mendapat insentif atau gaji, residen juga capek ngapain mau praktek di luar.
28:01Selama ini residen itu operasi sehari, sepuluh kali, lima kali, meriksa pasien seratus kali.
28:09Uangnya masuk kemana?
28:10Uangnya masuk ke rumah sakit vertikal tadi.
28:15Nah, rumah sakit vertikal tadi di bawah manajemen dari Kementerian Kesehatan.
28:20Kalau dicukupi residennya di situ, tidak usah ngapain praktek di luar.
28:26Sekarang pun mas, sekarang pun kalau residen mau praktek di luar diperbolehkan.
28:31SIP-nya dokter umum.
28:32Tapi kalau SIP di rumah sakit tersebut tidak bisa dokter umum.
28:36Harus SIP residen sesuai tingkatannya.
28:39Tingkat satu hanya bisa meriksa.
28:41Tingkat dua bisa melakukan pemeriksaan penunjang.
28:45Tingkat tiga bisa operasi.
28:46Itu ada, ada aturannya.
28:50Jadi kalau masalahnya hanya uang, tinggal dikasih insentif.
28:54Kalau hanya masalahnya uang.
28:57Kalau hanya masalah jam kerja, tinggal jam kerjanya ditentukan.
29:00Kementerian Kesehatan menetapkan 80 jam.
29:03Ini menetapkan 50 jam.
29:05Ini harus bersama-sama kita mengikut yang mana?
29:09Amerika memang 80 jam.
29:11Tapi residen yang bunuh diri banyak sekali.
29:13Nah, makanya kita menggunakan standar tertinggi yaitu di Eropa.
29:1750 jam.
29:1950 jam, maka 40 jam.
29:21Mengenai tes psikologi, tes kejiwaan.
29:24Saya tanya, kenapa 6 bulan?
29:26Kenapa tidak tiap 3 bulan?
29:27Atau tiap 1 bulan?
29:28Atau tiap 4 bulan?
29:30Itu bukan penyelesaian.
29:32Penyelesaian yang disampaikan Pak Hermawan, Ketua IAKNI tadi.
29:35Pengawasan.
29:37Kemudian faktor-faktor stres itu harus dihilangkan.
29:41Yaitu jam kerja sama gaji residen.
29:43Insya Allah dengan dua itu diselesaikan, akan menurunkan lebih dari ya mungkin 80-90 persen.
29:50Oke.
29:51Apa penyelewengan-penyelewengan.
29:52Baik, saya ke Pak Andi Pandi tadi.
29:54Bukan masalah tes di awal dan juga tes per 6 bulan, tapi terkait dengan pemicu stresnya.
30:00Mungkin di selama ini yang kita dengar juga banyak dari kalangan di sekitar kita bahwa dokter residen ini banyak di dalam tanda kutip dirundung oleh seniornya.
30:09Karena selama ini mereka dibimbing oleh senior, bukan oleh konsulen.
30:12Nah, apakah ini kemudian menjadi salah satu pemicu mereka juga terganggu jiwanya?
30:16Jangan dijawab Pak Andi, kita akan melanjutkan dialog ini bersama dengan tiga narasumber kami.
30:21Saudara, di Sapa Indonesia Pagi.
30:23Usai jeda.
30:25Kembali di Sapa Indonesia Pagi, saudara.
30:27Masih membahas terkait dengan bagaimana kemudian perbaikan tata kelola pendidikan PPDS.
30:33Menyangkut banyaknya kasus yang menimpa dokter PPDS di baru-baru ini.
30:38Masih bergabung bersama kami tiga narasumber.
30:40Pak Hermawan, Ketua Iyakmi, kemudian Dokter Selamat Budiarto, Ketua Umum IDI, dan juga Ketua HIMSI, Pak Andik Matulasih.
30:50Saya ke Pak Andik tadi sebelum jeda, Pak Andik, kita dengarkan tadi pernyataan dari Dokter Selamat bahwa sebenarnya kunci dari kesehatan jiwa
30:59ataupun mental dari para dokter PPDS ini bukan di awalnya sebenarnya, bukan di seleksinya, tapi bagaimana kemudian tekanan-tekanan yang mereka alami ketika berpraktek, berpendidikan di dalam rumah sakit.
31:12Itu yang paling menentukan seperti itu.
31:14Nah, Pak Andik, kalau Anda melihat seperti apa pengaruh-pengaruh yang sangat besar ketika mereka tertekan,
31:23misalnya mereka pendidikannya bukan oleh konsulen, tapi oleh senior yang mana biasanya di senior,
31:28kalau misalnya sama juniornya, intinya itu bukan selalu ya, ada kecenderungan untuk dalam tanda kutip membuli atau merundung seperti itu.
31:40Ya, yang pertama, saya tetap yakin bahwa harus ada pendekatan yang komprensif ya,
31:48artinya melihat segala sesuatu dari berbagai sisi ya.
31:53Jadi tidak hanya proses seleksi, tetapi juga evaluasi psikologi, perbaikan sistem pendidikan, pengawasan, SOP,
32:02dan juga evaluasi dan pengawasan dari masyarakat.
32:06Itu juga menjadi hal yang penting.
32:08Jadi semua punya porsi yang sama agar mahasiswa PPDES itu mampu menghadapi berbagai persoalan yang ada dalam proses pendidikan.
32:21Ya, terkait dengan relasi kuasa.
32:23Ini memang hal yang sangat penting ya.
32:26Jadi jangan sampai ada relasi kuasa di dalam proses pendidikan.
32:31Baik antara dosen dengan mahasiswa, baik antara senior dengan junior.
32:35Karena seringkali senior, junior, dan dosen dengan siswa itu relasinya adalah relasi kuasa gitu.
32:43Artinya pada saat relasi kuasa itu ada yang subordinate dan ada yang powerful gitu.
32:51Nah ini yang kemudian bisa mengarahkan pada faktor bullying.
32:56Padahal tidak semua orang mampu menghadapi kekerasan itu.
33:00Memang ada beberapa yang ini sebagai cara untuk mereka resilience.
33:05Mereka bisa menjadi hebat, mereka bisa menghadapi masalah.
33:09Tetapi sekali lagi relasi kuasa dalam konteks apapun,
33:14di satu sisi akan mempengaruhi kondisi psikologis seseorang.
33:17Di satu sisi dia akan melakukan bullying pada orang yang lain gitu.
33:23Salah satunya kepada pasien, kepada klien.
33:25Baik, baik. Saya ke dokter selamat.
33:30Bagaimana nih Pak terkait dengan relasi kuasa yang memang praktiknya kalau kita lihat di rumah sakit,
33:34rumah sakit, rata-rata memang terjadi mereka diawasi juga oleh dokter senior yang biasanya dalam tanda kutip,
33:41oke tidak selalu tapi biasanya mengerjai juniornya.
33:44Apalagi misalnya ada dokter juga yang membebankan semua beban kerjaannya beliau waktu kerja itu ke dokter PPDS.
33:54Walaupun sebenarnya seharusnya beban tersebut tidak ditanggung langsung oleh seorang dokter PPDS.
34:00Bagaimana dokter selamat?
34:01Ya itu, kembali lagi kepada tata kelola rumah sakit.
34:08Tadi saya sudah jelaskan bahwa rumah sakit bisa mengeluarkan hospital by law, peraturan rumah sakit.
34:14Kemudian bisa mengeluarkan SOP, SOP semua.
34:19Kalau itu dijalankan dengan baik, maka itu tidak akan terjadi.
34:24Kemudian mengenai residen.
34:26Residen itu mempunyai kewenangan sesuai dengan tingkatannya.
34:31Tingkat 1, tingkat 2, tingkat 3, tingkat 4 itu kewenangannya sendiri-sendiri.
34:36Kemudian konsulen, konsulen melakukan bimbingan.
34:41Misalnya begini, residen semester 1, semester 2 dibimbing oleh konsulen.
34:47Begitu dia sudah bisa, maka dia bisa mandiri melakukannya sendiri tanpa harus dengan konsulen.
34:53Di situlah diatur oleh rumah sakit namanya clinical privilege, yaitu kewenangan klinis.
35:00Bahwa tingkat 1, atau semester 1, semester 2, kewenangan klinis residennya adalah 1, 2, 3, 4.
35:07Kemudian residen tingkat 2, kewenangan klinisnya apa?
35:10Begitu konsulen sudah menyatakan residen ini, tingkat 2 sudah bisa melakukan 5, 6, 7, 8 kewenangan.
35:18Dan maka rumah sakit akan mengeluarkan kewenangan klinis namanya.
35:22Karena itu semua diatur dalam aturan akreditasi rumah sakit.
35:28Dan kenapa itu tidak jalan?
35:31Ya saya tidak tahu, karena itu murni 100% kewenangan manajemen rumah sakit.
35:37Pertama, kembali lagi ke masalah tadi kejiwaan.
35:42Kita, jadi semua orang bisa mengalami gangguan jiwa tergantung tekanan pada psikologis seseorang.
35:50Kalau pada saat dia masuk, masuk ke PPDS atau FK, dia akan dites tekanan psikologisnya sebelumnya.
35:59Kan gitu kan?
36:00Nah di dalam perjalanan sekolah, dia harus menghilangkan tekanan-tekanan psikologis.
36:06Yang paling berat tekanan psikologisnya adalah jam kerja.
36:09Kalau diatur jam kerja, misalnya nih 50 jam per minggu jam kerjanya nih.
36:15Maka tekanan psikologisnya akan berkurang.
36:18Yang kedua, selain jam kerjanya sudah tidak jelas, dia tidak mendapatkan uang.
36:24Bagaimana dengan keluarganya?
36:25Karena rata-rata residen itu sudah menikah, punya istri dan punya anak.
36:30Ini belum kita dalami loh.
36:32Berapa banyak residen yang istilahnya cerai.
36:35Gara-gara dia pendidikan residen tidak dapat uang, jam kerjanya tidak jelas.
36:41Banyak juga yang kehilangan istri, suami.
36:44Itu banyak juga.
36:45Ini perlu didalami juga.
36:47Sehingga ke depannya nih kita atur.
36:49Dua aja ini.
36:50Jam kerja sama insentif atau gaji untuk residen.
36:54Paling tidak ini bisa mengurangi tekanan psikologis tadi.
36:59Dan kami sangat berharap pada Kementerian Kesehatan untuk mengeluarkan aturan mengenai jasa medik atau insentif ataukah gaji untuk residen.
37:09Karena rumah sakit vertikal itu kan atas perintah atau aturan dari Kementerian Kesehatan.
37:16Kalau Kementerian Kesehatan bisa mengeluarkan aturan itu saya yakin Direktur Utama Rumah Sakit Vertikal akan melaksanakan itu.
37:24Yang kedua juga jam kerja.
37:26Kalau jam kerja sesuai dengan Undang-Undang Tenaga Kerja 40 jam.
37:30Kita masih spare waktu lah 50 jam.
37:33Itu juga harus dikomunikasikan dengan dikti juga.
37:37Dengan 50 jam apakah tercapai atau tidak.
37:40Dengan dua itu bisa diselesaikan, insya Allah kedepan akan mengurangi kelainan, gangguan jiwa, penyelewengan, dan bullying.
37:49Saya tidak tahu nih kedepannya akan terjadi lagi enggak nih.
37:53Apa namanya bullying dan lain-lain lah.
37:55Mudah-mudahan tidak ya.
37:57Mudah-mudahan tidak.
37:57Kita dudukkan bersama.
37:58Mudah-mudahan tidak.
38:00Baik.
38:00Pak Hermawan.
38:02Oke tadi Pak Selamat menekankan kembali.
38:05Jam kerja, jam kerja, jam kerja, dan insentif untuk para dokter PPDS.
38:11Kalau prakteknya di rumah sakit, semudah itukah diketuk misalnya.
38:15Oke 50 jam maksimal mereka pekerja.
38:17Kita kasih insentif mereka 5 juta sebulan untuk ribuan dokter PPDS.
38:20Bagaimana kemudian kalau prakteknya di rumah sakit.
38:23Apakah rumah sakit vertikal ini bisa dengan mudah melakukan itu?
38:28Karena mungkin selama ini mereka juga bergantung pada dokter PPDS.
38:32untuk bisa memenuhi jumlah dokter yang ada di sana.
38:37Ya, kalau seperti halnya pilot dalam pendidikannya ada jam terbang ya.
38:41Itu akan menyangkut level kompetensi.
38:43Di layanan kesehatan khususnya dokter juga sama.
38:45Jadi jam praktek ini akan disesuaikan dengan beban kurikulum dan juga target pendidikan.
38:51Maka saya tadi menyarankan duduk bersama.
38:53Tidak hanya ke menkes atau rumah sakit.
38:55Tapi juga ada dari diktinya atau pendidikan tinggi.
38:58Karena begini Mas Breh, jadi setiap rumpun spesialis tadi itu sebenarnya punya beban dan target kurikulum termasuk kompetensi yang berbeda.
39:07Maka ada kolegiumnya pendidikan dokter spesialis.
39:11Nah hendaknya masing-masing kolegium ini yang difasilitasi oleh Ristek Dikti, ini duduk untuk mengevaluasi kembali.
39:19Kalau tekanan itu berkaitan dengan beban, maka beban ini berkaitan dengan volume kurikulum dan target kompetensi.
39:25Maka ini harus didudukan.
39:28Ada beberapa pendidikan dokter spesialis yang kompetensi lulusannya itu beririsan satu sama lain.
39:34Mungkin ada irisan antara pendidikan spesialis penyakit dalam dengan paru, paru dengan kardiofaskuler,
39:40mungkin juga radiologi dengan beberapa spesialis seperti obstetric ginekologi dan lain-lain.
39:45Nah ini harus didudukan agar ada sinkron match sehingga yang seharusnya level kompetensi itu bisa diperoleh melalui pembelajaran,
39:54pelatihan atau refreshing course, tidak harus dipaksakan masuk kurikulum yang menjadi wajib.
39:59Karena ini akan menyangkut beban dan akhirnya juga target kompetensi dikejar berdasarkan praktek layanan.
40:04Yang akhirnya numpuk dalam seminggu menjadi 80 tadi.
40:07Nah ini tentu saja tidak serta-merta selesai di atas desk begitu atau meja,
40:14tapi perlu duduk bersama yang kita harus mulai dari kolegium dan kerangkap kurikulum pendidikan spesialis ini.
40:22Rasanya ini momentum yang bagus juga Mas Bray untuk mengevaluasi,
40:25karena jangan lupa Presiden kita ingin mengejar rasio penduduk Indonesia dengan dokter dan dokter spesialis.
40:31Jadi kalau sekarang kita punya 283 juta penduduk, harusnya puluhan ribu spesialis itu tersedia dan bisa disebar secara merata.
40:42Ada equity, ada equality.
40:44Jadi di Indonesia kan problem kita ketimpangan ketersediaan tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis.
40:50Ketika di-stop pendidikan dokter spesialis karena kasus dan kasus tadi,
40:54maka memang saya setuju dengan Mas Lamet, jangan juga ada kasus kriminal individu yang di-stop tiba-tiba itu proses pendidikan.
41:03Ini juga akan menghambat laju produksi nanti.
41:05Sementara kita juga akan mengejar dan ingin mengakselerasi ketersediaan dokter spesialis di Indonesia
41:11untuk memenuhi seluruh sistem pelayanan kita yang ada Mas Bray.
41:14Oke, baik-baik.
41:15Saya ke Pak Andik.
41:16Pak Andik, ini kan memang rencana dari Menkes sudah jelas kemarin ya, kita dengar bersama-sama.
41:22Tes psikologi akan dilakukan untuk di awal dan juga setiap 6 bulan sekali.
41:26Dari HIMSI sendiri, Pak Andik, apakah sudah menyiapkan kira-kira parameternya, kemudian mekanisme tesnya seperti apa?
41:34Ya, yang pertama sebelum saya menjawab itu memang kalau saya lihat gini ya.
41:39Jadi orang mengalami burnout atau stres atau menganggap itu sebuah tekanan besar,
41:45itu kalau sesuatu itu tidak bisa diprediksikan, tidak bisa diramalkan,
41:51tidak sesuai dengan harapan, artinya pada saat SOP berjalan dengan baik,
41:57perilaku senior-unior itu tidak ada relasi kuasa,
42:01dan semua misalnya jangka waktu dan sebagainya itu berjalan dengan baik,
42:06maka tentunya semuanya pasti akan berjalan dengan baik gitu,
42:09karena itu sesuatu yang sudah diramalkan gitu.
42:12Tapi pada saat sesuatu itu tidak bisa diramalkan,
42:15ada banyak hal misalnya perlakuan-perlakuan yang tidak sesuai,
42:18itu juga akan menimbulkan stres tersendiri.
42:20Yang berikutnya terkait dengan kesiapan dimsi.
42:23Dimsi punya banyak alat asesmen psikologi yang berbagai macam untuk mengukur berbagai macam,
42:31dan kami juga punya psikolog yang ada di 37 provinsi.
42:35Artinya sejak awal kami punya keinginan untuk membantu Kementes di dalam melakukan
42:42tidak hanya sekedar seleksi, tetapi juga evaluasi psikologi,
42:48bisa juga nanti misalnya proses coaching,
42:52karena bisa saja persoalan itu tidak berhenti di satu titik ya,
42:56tetapi orang tidak tahu bahwa yang persangkutan bermasalah.
43:00Oleh karena itu perlu dilakukan screening,
43:02perlu dilakukan evaluasi, dan perlu dilakukan coaching.
43:04berarti tidak kemudian dibiarkan saja,
43:07tetapi ada proses untuk pengembangan persoalan-persoalan yang ada pada mahasiswa PPDES.
43:17Oke, Pak Andi, kalau misalnya di awal ketika screening nanti sudah dilakukan,
43:23ada ditemukan kelainan,
43:25ataupun ada potensi penyimpangan perilaku pada seorang calon dokter PPDES,
43:29apakah ini juga kemudian menutup kemungkinan yang bersangkutan
43:33untuk bisa tetap menempuh pendidikan kedokteran spesialis, Pak Andi?
43:38Ada dua yang bisa dilakukan gitu ya,
43:43kalau di dalam screening mengalami masalah yang berat,
43:46tentunya kita kan punya, setiap pendidikan kan punya CPL ya,
43:53capaian pembelajarannya.
43:54Kalau dia dengan kondisi ini dan dia tidak mampu,
43:57maka tentunya harus direhatkan, harus diistirahatkan gitu.
44:02Atau bisa juga melalui coaching.
44:05Kalau persoalannya tidak berat, maka perlu dilakukan coaching.
44:08Oleh yang senior, oleh psikolog, oleh siapapun yang bisa memberikan coaching
44:13sehingga dia mampu kembali lagi seperti semua.
44:17Baik, baik.
44:17Saya ke Pak Selamat, Dokter Selamat.
44:20Ini terkait dengan, memang yang paling dekat ini adalah terkait dengan
44:24pembatasan jam kerja yang memang sudah diketok 80 jam gitu ya, maksimal.
44:30Nah, kemudian dari ID sendiri, sejauh ini masukkan ya,
44:34selain tadi jam kerjanya seharusnya ya 40-50 jam,
44:38dan juga insentif untuk para dokter PPDS apa?
44:41Masukan yang bisa Anda sampaikan kepada pemerintah,
44:44yang sekarang memang mengelola bagaimana praktek kedokteran di masyarakat?
44:49Ya, tidak memberikan gaji pada orang yang bekerja.
44:57Kemudian waktu kerja yang melebihi peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia,
45:05bahkan oleh AILO juga, itu merupakan pelanggaran.
45:09Masuk dalam kategori pelanggaran HAM.
45:12Jadi kami, Ikatan Dokter Indonesia, akan memberikan usulan,
45:18kenapa harus 50 jam, kenapa harus digaji.
45:22Itu dalam rangka untuk perbaikan pada mutu,
45:27mau pendidikan spesialis maupun mutu pelayanan yang ada di rumah sakit.
45:31Jadi, menurut kami, kemenangan kesehatan perlu mengundang ide,
45:37kita sama-sama duduk dengan diktif,
45:40berapa, kita mau menggunakan yang mana nih,
45:44apakah menggunakan Eropa atau menggunakan Amerika, kan gitu loh.
45:48Tentunya kita mencari yang permasalahan pendidikannya yang paling kecil,
45:54kalau menurut kami adalah Eropa, gitu loh.
45:57Yaitu, bahkan ada yang 40 jam,
46:01tapi ya kita seberwaktu 50 jam,
46:03tapi itu masih bisa didiskusikan.
46:06Terus kemudian,
46:07pernyataan Bapak Menkes mengenai seleksi harus transparan,
46:11artinya kan berarti selama ini seleksinya mungkin belum transparan,
46:14saya nggak tahu, perlu duduk bersama lah antara Menkes,
46:18sama mendikti bagaimana seleksi yang transparan,
46:22apa aja yang harus dilakukan.
46:24Jadi intinya, ini baik dan tidak tergantung pada Kementerian Kesehatan
46:30dan Kementerian Pendidikan Tinggi.
46:33Jangan kami yang, kami kan hanya berpendapat,
46:37mengusulkan, kan begitu ya.
46:39Tapi sebenarnya putusan ada di mereka, gitu loh.
46:42Putusan gaji, putusan jam kerja,
46:45putusan kurikulum ada di mereka, pemerintah.
46:47Ya, dua Menteri Riset Dikti dan Menteri Kesehatan duduk bersama,
46:55ini boleh sebagai stakeholder independen memberikan pendapatnya.
47:00Tapi putusan pada mereka semua.
47:02Tapi saya ingatkan,
47:03saya sudah ingatkan pada saat wawancara di TVRI,
47:06ini jangan-jangan nih,
47:07beberapa bulan lagi akan timbul,
47:09betul juga ini timbul, gitu kan.
47:11Nah, jadi jangan sampai teman-teman markatawan,
47:14hanya diskusi sampai hari ini aja.
47:17Harus ada goal,
47:18aturan yang bisa dikeluarkan oleh Kementerian Dikti
47:22dan oleh Kementerian Kesehatan.
47:24Terima kasih.
47:25Baik, baik.
47:26Saya ke Pak Hermawan, singkat aja Pak Hermawan sebelum kita tutup.
47:28Bola panas sekarang ada di Kementerian Dikti Saintec dan juga Kementerian Kes.
47:32Oke, tadi Anda menyampaikan bahwa
47:35kita perlu ada rombak kurikulum dalam tanda kutip.
47:38Itu kan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
47:40Untuk jangka pendeknya, Pak Hermawan,
47:42untuk bagaimana agar kasus asusila maupun pembulian
47:46di kalangan dokter PPDS tidak terulang kembali?
47:49Ya, jadi ada task shifting namanya.
47:50Task shifting ini menyangkut memberikan semacam license terbatas
47:54kepada dokter yang menjelum menjadi dokter spesialis,
47:56tapi juga dia tidak sekedar dokter umum,
47:59tapi ada dokter yang memberi pelayanan pada level spesialistik
48:03walaupun dia belum memiliki license spesialis.
48:05Jadi, semacam tadi SIP terbatas.
48:07Karena apa?
48:08Jangan lupa Presiden kita, Pak Prabowo Subianto,
48:11sudah mencanangkan.
48:13Bahkan beliau bicara itu di hadapan Presiden Putin di Rusia
48:16ingin mengejar target kekurangan dokter spesialis kita.
48:19Karena beliau ingin menjamin seluruh masyarakat kita
48:22sesuai dengan pasal 28.H ayat 1 UD 1945
48:26setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin
48:29bertempat tinggal mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
48:33serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
48:36Hak satu orang di Maluku, Papua, Sulawesi
48:39sama dengan ribuan orang di Jawa.
48:41Termasuk dalam layanan spesialistik
48:43bagian dari sistem kesehatan
48:44yang sifatnya secondary dan tertiary need
48:47buat masyarakat kita.
48:48Yang kuncinya adalah kebijaksanaan
48:50dan mengambil peran kebijakan yang cukup wise
48:54atau bijaksana dengan duduk bersama multi-stakeholder.
48:57Kira-kira itu menjadi kunci kita saat ini, Mas Brek.
48:59Baik, kita nantikan nanti bagaimana
49:00duduk bersama ataupun bagaimana mereka bisa berkumpul bersama
49:04dari semua stakeholder, baik dari ManCast tentunya
49:07dan juga ManDicti Scientech
49:10dan juga seluruh pihak yang terkait
49:12untuk bagaimana agar
49:13kasus-kasus rupa yang terjadi belakangan ini
49:16tidak terulang kembali.
49:17Terima kasih narasumber kami
49:18Pak Hermawan, Ketua Iyakmi
49:20kemudian Pak Andik, Matulesi, Ketua Himsi
49:23dan juga Dr. Selamet Budiarto
49:26Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia
49:27telah bergabung bersama kami
49:28di Sapa Indonesia Pagi.

Dianjurkan