Pertunjukan Teater "Orang-orang Setia"

  • 8 tahun yang lalu
TRIBUNNEWS.COM, BANDAR LAMPUNG -- Menjadi orang yang setia tidaklah mudah.

Ada banyak kompromi supaya tetap setia pada sebuah komitmen, meski kadang di ujung penantian, tak selalu ada keindahan.

Kesetiaan adalah proses untuk menjadi setia itu sendiri.

Mungkin ini yang coba dibagikan oleh Teater 1 Lampung pada pementasanOrang-orang Setia di Sanggar Teater 1 Lampung, Kamis (28/1/2016) malam.

Pementasan ini juga sebagai bagian acara peringatan 20 Tahun Teater 1 Lampung dan peluncuran buku Di Balik Terang Cahayadan Kumpulan Naskah Teater Nostalgia Sebuah Kota.

Lakon sepanjang hampir 90 menit yang ditulis oleh pentolan Teater 1 LampungIswadi Pratama ini banyak menukil potret buram realitas yang ada sekarang di masyarakat.

Cerita lakon yang pernah dipentaskan di Festival Teater Jakarta 2015 ini dibuka dengan dialog sederhana antara Rahman dan Sarmin, dua orang renta yang tinggal hanya berdua dalam sebuah rumah sederhana.

Berpapan triplek serta hanya berperabot dua kursi dan satu meja yang jadi meja makan dan meja belajar.

Rahman adalah orang tua yang pesimistis dan rendah diri.

Ia selalu memandang dunia dari sisi pragmatis. Latar belakangnya yang sekadar menjadi penjaga kamar mayat membentuk perasaan bahwa ia bukanlah orang yang patut dikenal oleh khalayak ramai.

Namun, ia menjalani pekerjaannya dengan ikhlas dan loyal.

Pun begitu dengan Sarmin. Seorang guru honorer dengan pengalaman mengajar puluhan tahun, bahkan pernah mengajar di pedalaman.

Sifatnya energik dan optimistis. Meski puluhan tahun statusnya tidak pernah berubah, Sarmin percaya, suatu saat kesetiaannya pada dunia pendidikan akan membuat ia bertemu dengan para petinggi pemerintahan.

Orang-orang Setiaini seakan membingkai lalu mengemas kondisi orang-orang seperti Sarmin dan Rahman menjadi komedi yang getir.

Nukilan-nukilan dari dialog Sarmin dan Rahman inilah yang menjadi benang merah antara kesetiaan dengan harapan-harapan terhadap para pemegang kebijakan dari sisi rakyat jelata.

Dari Sarmin didapati gambaran, rakyat tidak pernah menuntut apa-apa, hanya sebuah pengakuan akan kesetiaan mereka menjadi rakyat.

Dari Rahman bisa digambarkan bagaimana harapan-harapan rakyat akan kondisi sosial yang diinginkan mereka.

“Man, kamu tahu tidak pemerintah itu apa? Pemerintah itu ya, Man, kalau ada acara duduk paling di depan. Datangnya belakangan, tapi kalau pulang duluan,” kata Sarmin.


Hingga pada suatu waktu, kedua orang renta ini mendapatkan undangan untuk menghadiri penghargaan dari gubernur atas kesetiaan mereka mengabdi pada negara.

Mereka pun bersuka cita di malam sebelum hari H. Mulai dari flashback kehidupan mereka sampai bagaimana bersikap yang patut di depan gubernur.

Namun, lagi-lagi kegetiran diekspos secara vulgar oleh Orang-orang Setia ini.

Kegetiran yang membuat para penonton, mau tidak mau, harus setuju dan kembali ke realitas di kehidupan nyata.

Di saat Sarmin dan Rahman sibuk bersiap diri untuk menghadiri undangan penghargaan, komplek tempat mereka tinggal digusur.

Rumah sederhana mereka porak-poranda. Buku bertebaran. Tembok papan bergelimpangan.

Mereka pun hanya bisa tertawa karena mengalami kejadian tersebut.

Tertawa yang sama ketika Sarmin mengakui bahwa undangan penghargaan itu adalah buatannya, sama seperti piagam-piagam yang mereka buat sendiri yang terpampang di rumah mereka yang hancur.

Kegetiran makin terasa dengan adanya spot view pada pakaian Sarmin dan Rahman yang dibuang di tengah panggung dan membentuk bendera merah putih di antara puing-puing rumah dan harapan mereka.

Kegetiran yang membuat tertawa dan terpaksa menerima apa adanya. (*)

Category

🗞
News

Dianjurkan