Menakar Potensi Beban Pemilu Tahun 2024

  • 3 tahun yang lalu
JAKARTA, KOMPAS.TV - Sesuai Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Dan Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada aturan yang sudah ada, Pilkada serentak pada 2022 dan 2023, ditiadakan.

Namun jadwal pesta demokrasi, yang tertuang jelas dalam payung hukum ini, masih terus menuai pro dan kontra.

Semula, semua fraksi dewan perwakilan rakyat, sepakat merevisi Undang-Undang Pemilu, sehingga masuk ke dalam Program Legislasi Nasional, Prolegnas Prioritas, tahun 2021.

Namun belakangan, rencana ini justru ramai-ramai ditolak para wakil rakyat tersebut.

Bahkan, Partai Nasional Demokrat, yang awalnya paling vokal mendukung revisi Undang-Undang Pemilu, kini berbalik arah. Fraksi Nasdem diminta sang Ketua Umum Surya Paloh, untuk tak melanjutkan revisi Undang-Undang Pemilu. Dan mendukung pelaksanaan Pilkada serentak, 2024.

Dengan demikian, saat ini hanya Partai Keadilan Sejahtera, PKS, yang terang-terangan, mendukung rencana revisi dua aturan pemilu tersebut.

Di sisi lain, untuk Pemilu borongan, yang digelar 3 tahun lagi, mampukah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS melakukannya?

Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi berharap, pemilu serentak dua tahun lalu, adalah pertama dan terakhir. Karena terbukti penyelenggara menghadapi beban berat.

Selain itu, Pramono mengatakan, pemilu serentak, juga akan menyulitkan pemilih dan partai politik. Pasalnya jarak pileg dan Pilkada terlalu dekat.

Jika, desain keserentakan pemilu tahun 2024 tak berubah, bisa jadi, kekhawatiran KPU, akan terjadi.

Pesta demokrasi ''Borongan'' yang akan digelar, meliputi pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden. Kemudian pada tahun yang sama, juga akan digelar Pilkada serentak, di sejumlah wilayah Indonesia.


Dianjurkan