Surat Terbuka untuk DPR di Tengah Pandemi Corona - Opini Budiman Eps. 5

  • 4 tahun yang lalu
Sahabat saya, seorang aktivis, mengirim pesan melalui aplikasi pesan singkat pada hari Jumat Agung, 10 April 2020.

Pesannya berbunyi demikian: Selamat merayakan Jumat Agung dan Paskah. Paskah dalam situasi yang sungguh memprihatinkan.

Saya jawab, Terima kasih. Ini refleksi yang luar biasa. Covid-19 memang mengubah semua tatanan, termasuk tradisi dan liturgi gereja.

Dia pun menanggapi lagi. Presiden Joko Widodo sudah mendeklarasikan situasi darurat kesehatan nasional yang didasarkan pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan akhirnya memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Status itu sudah lama diminta oleh Anies.

Namun, baru beberapa hari lalu dikabulkan dan diberlakukan mulai 10 April 2020. Jumlah kasus positif terpapar Covid-19 paling banyak berada di Jakarta.

Aktivis itu lalu mengirim pesan lagi: Mengapa Yang Terhormat anggota DPR itu kok malah mewacanakan hal-hal yang kontroversial. Mau mengesahkan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), mau membahas RUU omnibus law Cipta Kerja, lah. Mau merevisi UU Mahkamah Konstitusi. Mengapa DPR tak segera membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang terkait dengan pandemik Covid-19.

Pandangan aktivis itu menemukan kebenarannya. Yang Terhormat wakil rakyat ini seperti teralienasi dari kepentingan rakyat. Yang Terhormat berpikir linear dan legalistik.

Bahkan, di daerah, seperti di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, sikap arogan ditunjukkan sejumlah anggota DPRD ketika petugas dinas kesehatan setempat ingin memeriksa kesehatan mereka.

Saat rakyat dan bangsa ini tercekam ketakutan, berada dalam kecemasan, berada dalam situasi penuh ketidakpastian, ketika para dokter dan petugas media berjibaku melawan Covid-19, Yang Terhormat justru memproduksi tindakan politik kontroversial.

Artikel ini telah tayang di KOMPAS Sabtu, 11-04-2020. Halaman: 02, Kolom Politik