Bergek, begitu namanya di sapa. Nama Bergek muncul ke permukaan manakala ia kecil dulu, dengan debut lagu ‘Menghayal’. Setelah album pertama yang melambungkan namanya di kancah musik Aceh, ia sempat meredup dan mandek dalam melahirkan karya. Entah apa sebabnya, tidak banyak orang yang tau. Meski beberapa kali mencoba peruntungan lewat film Aceh, tetapi tidak mendapatkan apresiasi seheboh debutnya dalam urusan menyanyi, biasa saja. Namun, ketika ia kembali ke habitatnya di dunia musik, Bergek fenomenal.
Akhir-akhir ini rasa-rasanya tidak ada yang lebih booming dibandingkan Bergek. Tidak ada yang lebih heboh selain lagunya Bergek ‘Boh hate’. Bahkan, sepenggal lirik ‘Boh hate gadoh aleh ho’ telah menjadi kosa kata wajib di tegah masyarakat Aceh. Terutama kaula muda, lebih spesifiknya akar rumput. Entah itu sekedar gurauan ataupun candaan. Jadilah kalimat boh hate gadoh aleh ho menjadi pas dan meurasa diucapkan manakala galau melanda seorang insan manusia berdarah Aceh. Hingga memang benar adanya bahwa gadis impian telah pergi tak jelas rimbanya.
Setidaknya, kalimat bohate gadoh aleh ho telah memperkaya khazanah kosa kata, kalimat, ataupun istilah pada tataran seni bertutur kita dewasa ini. Maksudnya; kaya dalam artian penyebutan karena sering di ulang-ulang. Belum lagi halnya bertebaran meme dengan menggunakan kalimat yang sama. Saya jadi curiga, hanya menghitung hari mungkin kaos dengan embel-embel Bergek dan hal-hal yang bersinggungan dengan itu akan dicetak dan laku keras. Tak cukup sampai disitu, bisa saja, nama suatu tempat akan dinamai dengan istilah yang sama dengan tujuan menarik animo masyarakat lantaran demam Bergek yang terbilang akut.
Fakta di atas seyogyanya adalah gambaran betapa suksenya Bergek di kancah musik lokal (Aceh). Lagunya yang nyentrik menjadi dendangan ringan yang mudah diterima khalayak ramai. Diterima generasi tua, disenangi anak muda, bahkan anak-anak sekalipun sudah hafal betul lagu-lagunya Bergek.
Nyatanya Bergek adalah fenomena ditengah agak layunya industri musik Aceh. Bagaimana tidak, hampir seluruh pelosok gampong yang ada di Aceh tahu dan mendengarkan lagunya Bergek. Meski tidak ada data yang jelas, saudara bisa mengkalikan sendiri berapa juta copy albumnya Bergek terjual. Di level lain, coba saudara ketik di google dengan kata Bergek, yang keluar adalah video klipnya yang diunggah ke youtube. Klik lagi, hasilnya luar biasa! Viewernya Bergek membuat kita geleng-geleng kepala.
Di saat banyak artis baru Aceh mencoba tampil dengan style ke-korea-korea-an, semi India, maupun condong Malaya, Bergek malah hadir dengan wajah dan mimik jenakanya. Boleh jadi, ia memiliki sindrom ulokologi-istilah saya, yang sangat membantunya dalam penguataan karakter. Karakter jenaka dan ulok yang coba ditampilkan Bergek sejauh ini relatif konsisten, mulai dari bermain film hingga bernyanyi.
Deman Bergek yang fenomenal menimbulkan pertanyaan: apa istimewanya Bergek sehingga demamnya menjangkiti seantero pelosok gampong di Aceh? Dari segi fisik, rasa-rasanya masih terlalu banyak yang lebih tampan dari Bergek. Kualitas musik juga relatif standar lagu Aceh umumnya. Lantas apa? Bergek bersama managemen dan produsernya jeli dalam membaca pasar. Mereka mafhum, di Aceh ini musik hanya perlu enak didengar, sedikit ulok-ulok, model video klip cantik atau tampan, plus tirulah lagu darimana saja yang sedang hits. Dijamin album siapapun meledak. Dan apa yang disebutkan di atas, rasa-rasanya terpenuhi dengan kadar yang pas didalam albumnya Bergek kali ini. Jadi, modal untuk fenomenal seyogyanya telah dikomposisikan dari awal dengan setingan dan taktik yang telah dikalkulasikan sebaik mungkin oleh pihak di belakang layar, sedang Bergek tak ubahnya seorang stricker tipe no 9 yang hanya tinggal menjebloskan bola ke gawang.
Refleksi
Fenomena demam Bergek merupakan sebuah pelajaran. Tidak hanya bagi pelaku dunia hiburan saja akan bagaimana meramu formula untuk sebuah karya yang dapat booming di tengah masyarakat.
Akhir-akhir ini rasa-rasanya tidak ada yang lebih booming dibandingkan Bergek. Tidak ada yang lebih heboh selain lagunya Bergek ‘Boh hate’. Bahkan, sepenggal lirik ‘Boh hate gadoh aleh ho’ telah menjadi kosa kata wajib di tegah masyarakat Aceh. Terutama kaula muda, lebih spesifiknya akar rumput. Entah itu sekedar gurauan ataupun candaan. Jadilah kalimat boh hate gadoh aleh ho menjadi pas dan meurasa diucapkan manakala galau melanda seorang insan manusia berdarah Aceh. Hingga memang benar adanya bahwa gadis impian telah pergi tak jelas rimbanya.
Setidaknya, kalimat bohate gadoh aleh ho telah memperkaya khazanah kosa kata, kalimat, ataupun istilah pada tataran seni bertutur kita dewasa ini. Maksudnya; kaya dalam artian penyebutan karena sering di ulang-ulang. Belum lagi halnya bertebaran meme dengan menggunakan kalimat yang sama. Saya jadi curiga, hanya menghitung hari mungkin kaos dengan embel-embel Bergek dan hal-hal yang bersinggungan dengan itu akan dicetak dan laku keras. Tak cukup sampai disitu, bisa saja, nama suatu tempat akan dinamai dengan istilah yang sama dengan tujuan menarik animo masyarakat lantaran demam Bergek yang terbilang akut.
Fakta di atas seyogyanya adalah gambaran betapa suksenya Bergek di kancah musik lokal (Aceh). Lagunya yang nyentrik menjadi dendangan ringan yang mudah diterima khalayak ramai. Diterima generasi tua, disenangi anak muda, bahkan anak-anak sekalipun sudah hafal betul lagu-lagunya Bergek.
Nyatanya Bergek adalah fenomena ditengah agak layunya industri musik Aceh. Bagaimana tidak, hampir seluruh pelosok gampong yang ada di Aceh tahu dan mendengarkan lagunya Bergek. Meski tidak ada data yang jelas, saudara bisa mengkalikan sendiri berapa juta copy albumnya Bergek terjual. Di level lain, coba saudara ketik di google dengan kata Bergek, yang keluar adalah video klipnya yang diunggah ke youtube. Klik lagi, hasilnya luar biasa! Viewernya Bergek membuat kita geleng-geleng kepala.
Di saat banyak artis baru Aceh mencoba tampil dengan style ke-korea-korea-an, semi India, maupun condong Malaya, Bergek malah hadir dengan wajah dan mimik jenakanya. Boleh jadi, ia memiliki sindrom ulokologi-istilah saya, yang sangat membantunya dalam penguataan karakter. Karakter jenaka dan ulok yang coba ditampilkan Bergek sejauh ini relatif konsisten, mulai dari bermain film hingga bernyanyi.
Deman Bergek yang fenomenal menimbulkan pertanyaan: apa istimewanya Bergek sehingga demamnya menjangkiti seantero pelosok gampong di Aceh? Dari segi fisik, rasa-rasanya masih terlalu banyak yang lebih tampan dari Bergek. Kualitas musik juga relatif standar lagu Aceh umumnya. Lantas apa? Bergek bersama managemen dan produsernya jeli dalam membaca pasar. Mereka mafhum, di Aceh ini musik hanya perlu enak didengar, sedikit ulok-ulok, model video klip cantik atau tampan, plus tirulah lagu darimana saja yang sedang hits. Dijamin album siapapun meledak. Dan apa yang disebutkan di atas, rasa-rasanya terpenuhi dengan kadar yang pas didalam albumnya Bergek kali ini. Jadi, modal untuk fenomenal seyogyanya telah dikomposisikan dari awal dengan setingan dan taktik yang telah dikalkulasikan sebaik mungkin oleh pihak di belakang layar, sedang Bergek tak ubahnya seorang stricker tipe no 9 yang hanya tinggal menjebloskan bola ke gawang.
Refleksi
Fenomena demam Bergek merupakan sebuah pelajaran. Tidak hanya bagi pelaku dunia hiburan saja akan bagaimana meramu formula untuk sebuah karya yang dapat booming di tengah masyarakat.
Category
🎵
Music